Jumat, 06 Januari 2012

Apakah Saya Kafir?


Dewasa ini, prediksi Rasulullah semakin terbukti, bahwa Islam memang akan terbagi ke dalam bermacam-macam golongan. Beberapa golongan meyakini bahwa mengkafirkan golongan yang lain itu wajib hukumnya. Bagaimana menurut Anda?

Tidak apa-apa. Hargai cara pandang orang lain terhadap dunia.

Bagaimana jika kasus yang terjadi, banyak pemuda yang kemudian menjadi berlaku kasar terhadap orang tua kandungnya (ada yang jadi bolos sekolah, minggat, memaki-maki orang tuanya kafir,dll) ?

Qur'an surah Al Luqman secara indah mengajari kita berlaku lemah lembut terhadap orang tua. Pun ketika keduanya berbeda agama. Menolak orang tua pun juga dengan ilmu. Selama perintah orang tua tidak berlawanan dengan syariat, laksanakan saja :)

Bukankah model pengkafiran mereka juga menggunakan ayat sehingga seolah tak terbantahkan?

Al Qur'an dan Sunnah jelas mutlak tak terbantahkan kebenarannya. Tapi silahkan bertanya kepada hati nurani masing-masing, mungkin tdk  qur'an dan sunnah jika digunakan dg cara yg salah akhirnya mjd salah juga pemaknaanya?

Apakah ajaran mereka sesat?

Wallahu a'lam bishshawab. Kita tidak pernah mengetahui siapa sesat siapa benar.  Kita tidak tahu, boleh jadi jika  misal saya mengkafirkan seseorang ternyata orang tersebut justru lebih dulu menginjakkan kaki di jannah atas ijin Allah. Pun kita tidak tahu isi hati orang lain, sehingga kita tidak tahu seberapa tinggi kadar iman yang mungkin kita vonis kafir. Allah mengetahui isi hati, sedangkan kita tidak. Kita tidak tahu siapa yang akan khusnul khatimah pada akhirnya. Dengan dasar ketidaktahuan inilah, baiknya kita menghargai golongan yang lain, menyadari bahwa memvonis itu bukan hak kita.

Sampai saat ini, jumlah mereka bertambah. Bagaimana menurut Anda?

Kita lihat pola "dakwah" mereka. Generalize (menggeneralisir), deletion (penghapusan), dan distorsi atau pengaburan.
Menyamaratakan setiap anggota dalam komunitas A adalah kafir misalnya, adalah contoh dari generalize. Sering menggunakan dalil yang parsial dan terpotong. Atau mungkin dalil lengkap tetapi jika dirunut kepada asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya suatu ayat atau hadits) jelas konteksnya berbeda, ini adalah contoh deletion dan distorsi sekaligus. Bisa kita bayangkan jika surah Al 'Alshr hanya berbunyi " Demi masa sesungguhnya manusia kerugian" ? Bukankah Allah lalu menyambungnya dengan "Kecuali..."
Pola-pola ini jika diikuti akan menghadirkan ketakutan pada diri objek "dakwah".
Bukankah kita tahu karakter hidayah adalah pencerahan hati, bukan ketakutan dan putus asa? Harapan adalah dari Allah, sedangkan was-was adalah dari syaithan.

Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?

Jika dihadapkan pada suatu berita, hendaklah kita mentabayunkan (mengkonfirmasi) kepada sumbernya. Debat adalah pilihan nomor ekor. Bukankah Rasulullah juga membudayakan tabayun? 
Tanyakan apa-apa terkait pernyataan pengkafiran mereka. Misal jika mereka menyodorkan dalil Qur'an, minimal kita tanyakan :

Shahih menurut siapa?
Dalilnya benar menurut versi siapa? Bagaimana asbabun nuzulnya?
Bagaimana terjemahan aslinya?

atau

Kata siapa artikel yang Anda kemukakan itu benar?

Jika mereka marah dimana marah adalah pertanda bahwa keyakinan mereka sedang disentuh, Marah berarti mungkin ada yang salah. Marah bisa dalam bentuk hujatan kepada kita, atau penyangkalan-penyangkalan terhadap kita. Jika kita benar, bukankah kita akan dengan ringan dalam menjawab?  Ingat kisah Malaikat Jibril mendatangi majelis Rasulullah dan bertanya kepada rasulullah? Atau pertanyaan-pertanyaan para shahabat yang selalu dengan menyentuh dijawab oleh rasulullah?

Dakwah Rasulullah adalah tentang rasa, bukan logika.

Di samping ilmu fiqh, pun ada ilmu akhlak, aqidah, dan ilmu lain yang menyeimbangkan. Yang menjadikan semakin merunduk padi seiring dengan menguningnya.

Dalil shahih adalah benar, tapi jika hanya disampaikan dengan logika hanya akan menghadirkan pertanyaan,
"Lalu kenapa?"

:)

Jika teman-teman d sini atau saudara kita sedang mengalami galau (hehe) atas vonis kafir terhadap dirinya, silahkan bertanya kepada orang lain sebanyak mungkin. Tanya saya juga boleh, insya Allah kita belajar bersama bagaimana menggali informasi valid agar kita tidak tertipu.

Sebelum ada tabayun, kita belum bisa memvonis salah dan benar, Kawan :)

(jika menurut teman-teman baik untuk orang lain, silahkan share tulisan ini)
...

Titis Gie

TRAINER'S DIARY #1 : "The Art of Pretending"

Salah satu jurus mutakhir dalam pencapaian sebuah mimpi besar adalah menampilkannya tiap detail kecilnya dalam pikiran kita. Beberapa buku motivasi bahkan sudah menjelaskannya secara ilmiah (saya tidak tahu seberapa tertarik teman-teman jika nanti di tengah tulisan, penjelasan ilmiah ini saya singgung). Semakin bicara visualisasi cita-cita ini, semakin seru juga kalau saya tuangkan visualisasi mimpi saya. Berikut visualisasinya:

Begitu detail, saya membayangkan saya berada di lantai 2 meeting room Hotel All Season di daerah Malioboro. Hotel berbintang 3 dengan konsep warna-warni milik investor jaringan Australia pada tanggal 12 Agustus 2014. Dihadiri 20 peserta training, saya yang saat itu mengenakan setelan blazer kain Super Black berdiri menjelaskan sebuah sub bab materi tentang The Art of Pretending, yah, seni berpura-pura.

Saya berjalan mendekati seorang peserta.
Saya : " Silahkan Anda berpura-pura berdiri"
(Sedetik kemudian, peserta tersebut benar-benar berdiri)

Saya : (sedikit menyerong menghadap peserta sebelah) " Sekarang Anda bisa berpura-pura tersenyum dengan sepenuh hati".
(Luar biasa peserta tersebut benar-benar tersenyum).

...

Thaaaaat's right!

Ketika kita berpura-pura melakukan sesuatu, sebenarnya kita memang sedang mengajari tubuh kita juga unconcsious kita untuk melakukan hal yang sama. Teman-teman pembaca Minimagz sekalian bisa mencobanya, saat ini saya sedang membayangkan teman-teman berpura-pura tersenyum semanis yang teman-teman bisa, dan anehnya teman-teman merasakan perubahan luar biasa pada mood teman-teman saat ini. Saya sih tidak tahu seberapa besar bagian dari hati teman-teman yang membenarkan teori saya ini. Yeah, just let it flow..

“Apabila salah seorang dari kalian marah dalam kondisi berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring.” (HR. Ahmad, Shohih)

Besar yah, pengaruh gerakan tubuh dalam pengelolaan mood seseorang? Lalu apa kaitannya dengan tema yang Minimagz angkat di edisi ini?

Thaaaaaaaaaat's right again!!!

Sebuah ilmu diragukan kemanfaatannya jika tidak bisa diterapkan untuk kemanfaatan bersama. Untuk kehidupan bermasyarakat, saya punya beberapa pertanyaan untuk teman-teman pembaca sekalian:

1. Seberapa bahagia hati tetangga kita jika mulai pagi ini kita berpura-pura menyapa mereka dengan setulus hati?
2. Seberapa erat silaturrahmi akan terbangun jika kita bersedia berpura-pura memberi mereka sebagian dari apa yang kita masak (apalagi jika tetangga kita sampai mencium aroma masakan kita,yah?)?
3. Seberapa tersentuh hati tetangga jika kita bersedia sejenak saja berpura-pura peduli pada kabar mereka hari ini?
4. Seberapa layak kita menjadi tengga terbaik nomor 1 jika saja diadakan lomba Tetangga Teladan Pilihan?

Klik! Sebaik apapun jawaban teman-teman, terima kasih sudah berkenan membaca :D
Salam sukses dari saya.

[ especially dedicated for Minimagz's Reader ]

Magnificent for All !!
_Titis Gie
www.facebook.com/titis.gie.breakaway

Jumat, 07 Oktober 2011

Harga Diri si Kerupuk Solo

Terik. Beberapa puluh meter memandang jalan beraspal di Kota Jogja mungkin mirip dengan memandang gurun pasir yang terhampar. Ada yang sama, fatamorgana serupa air tercipta di atas permukaan. Kalau mengendarai kendaraan bermotor roda dua di bawah klimaks terik matahari begitu, akan sangat terasa angin panas kering memapas muka. Itu dengan roda dua, bagaimana dengan hanya kaki dua? Seperti yang akan kulihat sebentar nanti.

Aku melihatnya payah. Tidak ada baju tebal yang menghalangi terik mengenai kulit tubuhnya. Oh ada. Hanya kemeja batik tipis membungkus badan. Aku mengenal itu batik motif Solo. Ada sebuah topi yang tak kalah usang dengan kemeja, celana, dan sandal yang dikenakannya. Kau bisa menyebutnya "serasi".

Dari ruko ke ruko. Ia masuk sebentar lalu keluar lagi. Ah, mungkin pengemis.

Aku sudah siap mengeluarkan motorku dari jejajaran motor yang ditata rapi di parkiran. Aku sengaja menunggu bapak tua itu mendekat. Aku ingat ada sebagian dari hartaku yang sebenarnya itu adalah miliknya, jadi aku menyiapkan selembar biru dari dalam tas.

"Monggo tumbas kerupuk, saking Solo niki (silahkan membeli kerupuk, dari Solo ini)", kata si bapak tua. Bukan pengemis, ia menjual kerupuk rupanya.

"Oh, mboten. Niki kangge Bapak mawon (Oh, tidak. Ini untuk Bapak saja)", kataku. Menyodorkan sesuatu yang hanya selembar. Sesuatu yang paling kecil nilainya dari beberapa lembar di dalam tasku. Aku memalukan, ya?

"Kula mboten njaluk. Niki kerupuk, reginipun sedasa mawon (saya tidak meminta-minta. Ini kerupuk harganya sepuluh ribu saja)".

Terus terang aku tidak suka kerupuk. Di rumah, mungkin ada ayah atau ibu yang suka, tapi aku belum hendak pulang ke rumah. Dan uangku tidak cukup banyak hari itu. Kalau kubelikan kerupuk, bisa jadi aku menahan lapar sampai malam nanti. Itu artinya tidak ada makan siang.

Aku belum selesai berperang dengan diriku sendiri, tapi si bapak sudah berjalan melewatiku.

Aku sesaat masih melihatnya. Memasuki toko isi ulang printer yang juga baru saja kumasuki. Sepanjang jalan, aku masih saja merenungi apa-apa tentang si bapak penjual kerupuk. Aku semakin malu sendiri. Ia membelajariku sesuatu.

Sungguh, dengan penampilannya itu, ia bisa saja meminta-minta, pikirku. Toh sekarang juga banyak pengamen jalanan yang rerata masih memiliki fisik yang kuat. Mengamen yang (kata mereka , sih) cuma hobi saja pada kenyataannya menjadi kesibukan mereka dari pagi sampai sore, atau bahkan malam. Apalagi kalau sedang hari besar atau musim liburan, ratusan ribu rupiah bisa didapatkan dalam sehari. Dengan ini, mungkin tidak hanya pengamen-pengamen muda itu yang kalah oleh si bapak penjual kerupuk. Dengan harga diri setinggi itu, siapa coba yang bisa membelinya?

Selembar biruku tadi? Tentu tidak.

---
www.titis-gie.blogspot.com


Sabtu, 01 Oktober 2011

heart



Adalah dengan hati, kita bisa menyelami rasa lebih dalam, jauh ke dasar.
Adalah dengan hati, kita mendengar dengan kejernihan yang tak mampu terindera oleh telinga.
Dan lagi, adalah dengan hati, kita menyimak pesan-pesan rahasia di sekitar kita. Pesan-pesan yang Allah titipkan pada daun, matahari, angin, mendung, juga cahaya. Pesan rahasia, hanya bagi yang bersedia merelakan hatinya untuk dilambai para pembawa pesan Allah. Untuk setiap kita, yang menjadi objek dari sifat Ar RahmaanNya.

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Menciptakan. .

Hati, sebuah pirani lunak yang Allah titipkan kepada kita. Aktifitas dan kerja hati tidak nampak dari luarannya, tapi sungguh ia mampu mengantarkan kita meraih predikat ahli surga.

Rasulullah pernah menunjuk seorang sahabat sebagai ahli surga. Para sahabat yang lain mengkritisi pernyataan Rasulullah tersebut, karena yang mereka tahu, sahabat yang dimaksud Rasulullah itu biasa saja dalam amalan shalat wajibnya, shalat sunnahnya, dan shaumnya. Bagaimana ia ditunjuki oleh Rasulullah al Amin sebagai ahli surga? Belakangan diketahui bahwa sahabat tersebut memiliki kebiasaan memaafkan setiap kesalahan saudaranya. Barangkali ia berharap balasan yang sama dari Allah, bahwa jika ia ingin Allah memaafkan dosa-dosanya maka haruslah ia memaafkan kesalahan sesamanya lebih dahulu. Barangkali hatinya begitu mengimani betapa mahal arti permaafan di akhirat kelak. Bahwa permaafan lebih mahal nilainya daripada dunia seisinya. Amalan hatinya telah membuatnya ditunggu oleh para penghuni surga.

Ingatkah kita dengan orang yang mungkin secara tidak sengaja kita jumpai saat perhentian lampu merah sesiang tadi? Atau orang yang pernah duduk sebangku dengan kita di sebuah halte?

Mungkin, kita melakukan hal-hal yang secara lahir sama dengan orang lain. Tapi kita tidak pernah tahu bahwa dengan bekal hati, orang lain telah mendahului kita dalam perjalanannya menuju surga.
Mungkin, lebih dari yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah tadi, selain memaafkan ia juga mendoakan kebaikan demi kebaikan untuk orang yang pernah dzalim kepadanya.

Hati memiliki warnanya. Jika warna itu nampak, aku yakin pendarnya lebih menawan daripada pelangi. Tapi bisa jadi ia pekat, hitam dan pucat. Cahaya terserap. Ia kerontang dan laik dibuang. Kitalah yang mewarnainya.

"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya". [ Asy Syams 8-10 ]

Selasa, 27 September 2011

Elephant is. .

Barangkali sebagian dari kita pernah membaca kisah ini, atau kisah yang serupa dengannya. Tapi, dengan sedikit perubahan dan dramatisasi pada penghujungnya, saya ingin membawakannya kembali. Entah akan terambil hikmahnya atau tidak. Semoga.

---

Terkisah, ada tiga orang anak kecil dari kota dikumpulkan oleh seorang pemilik peternakan. Sang pemilik peternakan memiliki banyak sekali binatang ternak yang dipeliharanya dengan baik. Sangat berbeda dengan pemilik peternakan yang berkutat dengan binatang-binatang ternak setiap harinya, ketiga anak ini sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang binatang. Selama ini mereka mengenal binatang sebatas dari dongeng yang diceritakan oleh kedua orang tua mereka untuk  mengantar mereka terlelap tidur.

Singkat cerita, sang pemilik peternakan meminta ketiganya untuk bersedia ditutup matanya. Kemudian, mereka diminta untuk menebak binatang apa yang akan dihadapkan kepada mereka nanti. Mereka diperbolehkan meraba, tetapi tidak untuk membuka penutup mata.

Ketiga anak itu ditempatkan di posisinya masing-masing. Dekat dengan si binatang. Setelah diberi aba-aba, ketiganya mulai meraba. Tidak sampai lima menit waktu yang diberikan untuk meraba, kemudian mereka diminta menjelaskan tentang sebuah binatang yang tadi mereka raba, yang belakangan diberitahu oleh si pemilik bahwa binatang tersebut adalah gajah.

Si anak pertama berkata, "Gajah itu kecil. Ia bahkan pipih sekali! Aku bisa mengibas-ibaskannya dengan tanganku. Well, ia pasti lucu sekali."

Anak yang kedua diberi kesempatan untuk menjelaskan apa itu gajah. Ia berkata, "Tidak! Kau salah! Sama sekali salah! Gajah itu sungguh besar. Mungkin ia lebih besar dari pada ayahmu. Ia bulat. Tanganku tidak cukup panjang untuk melingkarinya. Kau benar-benar salah."

Sang pemilik peterbakan berpaling kepada anak ketiga. "Kalau kau, Nak, bagaimana menurutmu tentang gajah?"

"Sir, aku tidak yakin. Bagiku ia cukup berat. Sebesar pahaku, kurasa. Ia mengeluarkan angin yang hangat," menggaruk kepalanya. Berpikir. "Tapi, mungkin aku salah. Mataku tertutup. Semuanya gelap. Aku ingin melihatnya dengan mataku. Kalau aku boleh melihatnya..."

Sang pemilik peternakan tersenyum. Mengusap kepala ketiganya. "Ya, kalian boleh membuka mata kalian."

---

Yup.
Tidak ada yang salah dengan jawaban ketiganya. Bahwa gajah itu pipih, tentu saja itu benar. Si anak pertama mendapat telinga gajah. Ia mengibas-ibaskannya dan memainkannya. Si anak kedua meraba perut gajah. Itu juga tidak salah jika ia menjelaskan bahwa gajah itu besar. Dan si anak ketiga, menyebutkan apa yang ia ketahui tentang hidung gajah. Hanya saja si anak ketiga tidak cukup puas mengetahui dengan mata yang tertutup. Ia ingin mengetahui kebenaran itu secara keseluruhan.

Bahwa Islam mulai terkotak-kotak pun tentu saja sudah diprediksikan oleh Rasulullah. Tidak mesti salah pemahaman yang masing-masing diyakini oleh mereka.

Aku hanya meyakinkan diriku, bahwa mereka benar.
Mereka meyakininya dengan ilmu mereka.

Aku masih jauh untuk menjadi sang pemilik peternakan, yang mngetahui semuanya. Tapi aku tidak berharap menjadi si anak pertama atau bahkan kedua. Cukuplah aku mengakui bahwa aku belum benar-benar tahu, dan "bukalah penutup mataku" agar aku tahu.

qul innamal 'ilmu 'indallah.. (67:26)

'amal ba'da 'ilmu. .
wallahu a'lam bishshawab.

Antara Aku, Kota Bakpia, dan Pilkada

Sejak jamannya simbah masih mengalami penjajahan Jepang, tampaknya peribahasa "wong Jowo iku mati yen dipangkon (orang Jawa itu mati kalau dipangku)" masih berlaku sampai jaman wireless seperti sekarang. Pangku adalah salah satu tanda baca dalam aksara Jawa. Fungsi tanda baca ini memang untuk mematikan huruf Jawa yang terakhir dalam sebuah kata atau kalimat. Misal dari kata 'mas-ji-da' baru bisa dibaca 'masjid' kalau huruf 'da' dipangku. "Dipangku" sendiri memiliki makna "dikondisikan dalam keadanyaan senyaman-nyamannya". Kalau sudah nyaman ya mati.Toh yang namanya umpan selalu menggiurkan si target, to ya? Kalau sudah kecantol umpan, digoreng boleh, dikukus juga boleh. Entah orang Jepangnya yang mafhum dengan tabiat orang Jawa, nyatanya Jepang yang mengaku "Saudara Tua" Indonesia diterima baik di tanah air. Ditambah lagi jargon 3 A, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia", mantablah Indonesia berpihak kepada Jepang.

Hasilnya?

Kerugian moril dan meteriil simbah dan teman-teman seperjuangan simbah saat itu 100 kali lebih rugi dibandingkan saat penjajahan Indonesia oleh Belanda. Yah, Belanda yang menduduki (?) Indonesia sekitar 350 tahun itu saja masih bisa dibilang lebih 'manusiawi' daripada pendudukan Jepang di Indonesia yang hanya 3.5 tahun.

Hmm..

Tidak hendak mengungkit luka lama bangsa ini. Hanya saja, kok ya sekarang-sekarang ini seperti mengalami de-javu atas taktik "wong Jowo mati yen dipangkon" tadi. Ngilu sebenarnya mengingat kejadian di rumah tadi pagi. Ada tetangga berkunjung, heboh sekali mengajak bapak dan ibu mancing gratis di sebuah pemancingan. Nggak tanggung-tanggung, doorprize juga disediakan bagi pemancing yang tangkapan ikannya mumtaz.

"Berangkat saja, kan lumayan itu!!",kata tetangga.

"Nggih", kata bapak, asal saja.

"Asal dikasih ya seneng saja, nggih!"

"Lha tapi saya ndhak kenal pribadi calonnya.."

"Ya ndhak papa", kata tetangga semakin manteb. "Yang seperti njenengan itu banyak! Saya juga, sebenarnya ndhak kenal, tapi kalau asal dikasih ya ndhak papa. Yang dicari malah yang begitu ituuu. Nanti bisa lapor. Yang penting nanti kalau njenengan ditelpon, dijawab saja saya sudah kesini..."

Tetangga berlalu meninggalkan setumpuk pamflet, stiker, dan kresek putih satu plastik ( buat apa ya, pikir saya).

Masya Allah..
Sedih sekali. Inikah umat yang begitu dicintai Rasulullah sampai pada akhir hidup beliau, yang beliau lirihkan adalah umatnya, "umatii, umatii, umatii...".

Dalam ranah Yogyakarta saja, budaya pembodohan semacam ini semakin ngetrend, menjamur kayak kutu air.
Katanya mencerdaskan, tapi dimulai dengan mendidikbodohkan.
Katanya mensejahterakan, tapi awalannya memanjakan watak menerima-menerima (menghindari kata 'meminta'minta').
Katanya perbaikan, tapi dimulai dengan penghancuran :'(

Saya, dengan tidak berani mengatasnamakan siapapun, mengharapkan pemimpin yang nggak begitu-begitu.
Mana ya, pemimpin yang memiliki kader yang nggak cuma kenal tapi juga paham dengan calonnya. Jika ditanya, si kader bisa menjelaskan dengan baik dan cermat visi misi yang diemban. Melihat pemimpin tidak hanya dari pribadinya tapi juga kader-kadernya. Ada nggak ya, kader yang rela demi kebaikan kotanya, "ngiklan" tanpa bayaran. Yang diharapkan bukan ikan pancingan, kaos, jam dining, gula, teh, sembako. Cukuplah mengharap kebaikan di setiap lini wilayahnya.

Mengharapkan kader dan pemimpin yang memahami bahwa setiap perbaikan itu memiliki prioritas, memiliki tahapan. Tidak bisa membangun gedung-gedung betingkat, sarana-sarana, tapi lemah di sisi moral warganya. Warganya masih saja percaya ngalap berkah dari cucian kaki, dari tumpeng, dari gunungan. Mengharapkan pemimpin yang mnyelamatkan kami dinia dan akhirat. Yang tidak membeli suara-suara kami dengan ikan pancingan (weekk).

Oh, Bapak-bapak calon walikota..
Saya yakin semuanya baik. Jika tidak baik, tidak mungkin dicalonkan. Hanya saja, segala yang baik dan segala tujuan-tujuan yang baik itu perlu diawali dengan kebaikan pula. Kebaikan di awal, di tengah, dan di akhirnya. Itu insya Allah lebih diridhai dan lebih berkah. Karena kebaikan itu tidak bisa diawali dengan keburukan. Mungkin niatnya baik, tapi jika dampaknya terhadap orang lain buruk, maka mohon dipertimbangkan lagi. Ini akan menjadi pertimbangan jika targetannya bukan duniawi saja.

kalo ada yang oke, Coblos ajaaaa~!!!! yookk~!

Kehendak Allah itu (sebenarnya) Mudah Ditebak

" Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaan" ( Asy Syams : 8 ).

     Hakikatnya bukan malaikat, karena tak melulu berada dalam kepatuhan. Ianya sering bersalah dan mengulangi dosa. Bukan juga iblis yang istiqomah berdosa sampai hari kiamat kelak. Meskipun begitu, manusia ~dengan semua piranti yang diberikan kepadanya~, bisa dicemburui oleh malaikat karena ibadah yang ia lakukan. Pada saat yang sama, ia akan bertempat yang sama dengan syaithan jika amal timbangan keburukannya lebih berat daripada timbangan amal kebaikannya. Maka keduanya adalah pilihan, dan pilihan itu ada di tangan si manusianya sendiri.

     Hmmm.. Sebenarnya kehendak Allah itu mudah loh..

     Sepagi tadi, mengabsen apa-apa saja yang dimiliki sampai saat ini, jika itu digunakan dalam kebaikan, maka itulah kehendak Allah. Misalnya, jika yang kita miliki adalah suara yang bagus ~setidaknya yang bilang gitu ya cuma ibu kita.he~ maka shadaqahkan suara kita itu untuk tilawah. Membacanya dangan benar kemudian melagukannya. Kan banyak tuh, orang-orang yang mendapat hidayah setelah mendengar bacaan Qur'an. Umar ibn Khaththab juga demikian, kan?

     Jika, yang kita miliki adalah tulisan tangan bagus, maka berprasangka baiklah dengan tulisan tangan kita itu kita akan mengubah dunia dengan tulisan. Kan ada, sebuah lirik nasyid, "kata ibarat pedang yang tajamnya bisa membunuh lawan..". Maksudnya begitu besar peran kata-kata yang mempunyai ruh bisa mengubah sejarah, mengubah paradigma. Al Qur'anul Kariim tersusun pada masa Rasulullah, yang saat itu dunia persajakan sedang booming, sedang populer. Al Qur'an  hadir sebagai sajak terindah sepanjang masa, disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, nabi yang umi, yang tidak bisa baca tulis. Sehingga dengan itu, tak ada keraguan bahwa Al Qur'an memang bukan karya pemikiran manusia. Subhanallah skenario Allah saat itu..

     Atau mungkin kita memiliki kelebihan berupa kecerdasan, maka hak kecerdasan kita adalah menggunakannya dalam apa-apa yang bermanfaat untuk Islam. Ilmu adalah milik umat Islam. Betapa kita mengenal para 'ulama besar mengawali kemajuan pengetahuan di berbagai bidang. Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya, ibnu Haytsam dengan ilmu fisikanya, dan yang lain. Dan betapa Allah meninggikan derajat seeorang itu bukan dengan harta, bukan dengan rupa, tapi dengan ilmu. Rasullullah membandingkan ahli ilmu dengan ahli ibadah seperti bulan berbanding bintang di sekitarnya. Karena ibadah yang disertai ilmu akan lebih bernilai dan diterima oleh Allah. Jika mendapatkan dunia adalah dengan ilmu, maka untuk mendapatkan akhirat haruslah dengan ilmu.

     Tak lengkap kelebihan tanpa kekurangan. Dan kekurangan jika dimaknai dengan benar maka akan menjadi ladang pahala juga. Mengetahui bahwa kita memiliki karakter pemarah misalnya nih, akan menjadi jihad kalau kita mau menahan marah kita terus mengiringnya dengan pemaafan. Tarik napas dalam-dalam, tahan sebentar, keluarkan :)

     Atau kita merasa memiliki sifat "lemot" atau "lola"? hhhff.. Ibnu Hajar Al Asqalani mengajari kita untuk bersabar dalam belajar. Semasa mudanya beliau hampir putus asa dalam belajar. Hafalan teman-temannya lebih banyak. Sampai beliau menyendiri di sebuah gua dan mendapati tetesan air dari ujung stalaktit mampu menciptakan sebuah cekungan pada batu. Beliau tahu, air yang menetes itu, jika satu persatu menetes, sedikit demi sedikit menimpa batu, kepadatan batu akan kalah juga. Sehingga menjadilah beliau, menuangkan sebagian hafalan hadistnya dalam karya kitab Bulughul Maram sebagai buku referensi fiqh umat Islam. Waooww.. Subhanallah.

     Entahlah. Apapun yang kita miliki, jika itu runcing, maka gunakanlah dalam kebaikan. Jika masih tumpul, kita hanya tinggal mengasahnya saja. Dan tuailah pahala dalam setiap momen pengasahan itu. Yang mengetik inipun masih sangat jauh dari fase mengasah. Ianya masih perlu mencari, belajar, mengamati.

     Kita semua sama, Allah memfasilitasi kita dengan perangkat yang sama. Seperti yang terkutip dalam Asy Syams ayat 8. Kita sama-sama memiliki ilham fujur dan ilham taqwa. Maka manakah yang paling berat timbangannya di akhir nanti itulah hasilnya. Dan aku hanya berdoa semoga kitalah pemenangnya. Dengan Al Qur'an dan Sunnah sebagi kompasnya:)

...

pada suatu pagi hari, bada shubuh setelah mengerjai dan dimarahi kakak >
03092011