Jumat, 07 Oktober 2011

Harga Diri si Kerupuk Solo

Terik. Beberapa puluh meter memandang jalan beraspal di Kota Jogja mungkin mirip dengan memandang gurun pasir yang terhampar. Ada yang sama, fatamorgana serupa air tercipta di atas permukaan. Kalau mengendarai kendaraan bermotor roda dua di bawah klimaks terik matahari begitu, akan sangat terasa angin panas kering memapas muka. Itu dengan roda dua, bagaimana dengan hanya kaki dua? Seperti yang akan kulihat sebentar nanti.

Aku melihatnya payah. Tidak ada baju tebal yang menghalangi terik mengenai kulit tubuhnya. Oh ada. Hanya kemeja batik tipis membungkus badan. Aku mengenal itu batik motif Solo. Ada sebuah topi yang tak kalah usang dengan kemeja, celana, dan sandal yang dikenakannya. Kau bisa menyebutnya "serasi".

Dari ruko ke ruko. Ia masuk sebentar lalu keluar lagi. Ah, mungkin pengemis.

Aku sudah siap mengeluarkan motorku dari jejajaran motor yang ditata rapi di parkiran. Aku sengaja menunggu bapak tua itu mendekat. Aku ingat ada sebagian dari hartaku yang sebenarnya itu adalah miliknya, jadi aku menyiapkan selembar biru dari dalam tas.

"Monggo tumbas kerupuk, saking Solo niki (silahkan membeli kerupuk, dari Solo ini)", kata si bapak tua. Bukan pengemis, ia menjual kerupuk rupanya.

"Oh, mboten. Niki kangge Bapak mawon (Oh, tidak. Ini untuk Bapak saja)", kataku. Menyodorkan sesuatu yang hanya selembar. Sesuatu yang paling kecil nilainya dari beberapa lembar di dalam tasku. Aku memalukan, ya?

"Kula mboten njaluk. Niki kerupuk, reginipun sedasa mawon (saya tidak meminta-minta. Ini kerupuk harganya sepuluh ribu saja)".

Terus terang aku tidak suka kerupuk. Di rumah, mungkin ada ayah atau ibu yang suka, tapi aku belum hendak pulang ke rumah. Dan uangku tidak cukup banyak hari itu. Kalau kubelikan kerupuk, bisa jadi aku menahan lapar sampai malam nanti. Itu artinya tidak ada makan siang.

Aku belum selesai berperang dengan diriku sendiri, tapi si bapak sudah berjalan melewatiku.

Aku sesaat masih melihatnya. Memasuki toko isi ulang printer yang juga baru saja kumasuki. Sepanjang jalan, aku masih saja merenungi apa-apa tentang si bapak penjual kerupuk. Aku semakin malu sendiri. Ia membelajariku sesuatu.

Sungguh, dengan penampilannya itu, ia bisa saja meminta-minta, pikirku. Toh sekarang juga banyak pengamen jalanan yang rerata masih memiliki fisik yang kuat. Mengamen yang (kata mereka , sih) cuma hobi saja pada kenyataannya menjadi kesibukan mereka dari pagi sampai sore, atau bahkan malam. Apalagi kalau sedang hari besar atau musim liburan, ratusan ribu rupiah bisa didapatkan dalam sehari. Dengan ini, mungkin tidak hanya pengamen-pengamen muda itu yang kalah oleh si bapak penjual kerupuk. Dengan harga diri setinggi itu, siapa coba yang bisa membelinya?

Selembar biruku tadi? Tentu tidak.

---
www.titis-gie.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar