Selasa, 27 September 2011

Antara Aku, Kota Bakpia, dan Pilkada

Sejak jamannya simbah masih mengalami penjajahan Jepang, tampaknya peribahasa "wong Jowo iku mati yen dipangkon (orang Jawa itu mati kalau dipangku)" masih berlaku sampai jaman wireless seperti sekarang. Pangku adalah salah satu tanda baca dalam aksara Jawa. Fungsi tanda baca ini memang untuk mematikan huruf Jawa yang terakhir dalam sebuah kata atau kalimat. Misal dari kata 'mas-ji-da' baru bisa dibaca 'masjid' kalau huruf 'da' dipangku. "Dipangku" sendiri memiliki makna "dikondisikan dalam keadanyaan senyaman-nyamannya". Kalau sudah nyaman ya mati.Toh yang namanya umpan selalu menggiurkan si target, to ya? Kalau sudah kecantol umpan, digoreng boleh, dikukus juga boleh. Entah orang Jepangnya yang mafhum dengan tabiat orang Jawa, nyatanya Jepang yang mengaku "Saudara Tua" Indonesia diterima baik di tanah air. Ditambah lagi jargon 3 A, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia", mantablah Indonesia berpihak kepada Jepang.

Hasilnya?

Kerugian moril dan meteriil simbah dan teman-teman seperjuangan simbah saat itu 100 kali lebih rugi dibandingkan saat penjajahan Indonesia oleh Belanda. Yah, Belanda yang menduduki (?) Indonesia sekitar 350 tahun itu saja masih bisa dibilang lebih 'manusiawi' daripada pendudukan Jepang di Indonesia yang hanya 3.5 tahun.

Hmm..

Tidak hendak mengungkit luka lama bangsa ini. Hanya saja, kok ya sekarang-sekarang ini seperti mengalami de-javu atas taktik "wong Jowo mati yen dipangkon" tadi. Ngilu sebenarnya mengingat kejadian di rumah tadi pagi. Ada tetangga berkunjung, heboh sekali mengajak bapak dan ibu mancing gratis di sebuah pemancingan. Nggak tanggung-tanggung, doorprize juga disediakan bagi pemancing yang tangkapan ikannya mumtaz.

"Berangkat saja, kan lumayan itu!!",kata tetangga.

"Nggih", kata bapak, asal saja.

"Asal dikasih ya seneng saja, nggih!"

"Lha tapi saya ndhak kenal pribadi calonnya.."

"Ya ndhak papa", kata tetangga semakin manteb. "Yang seperti njenengan itu banyak! Saya juga, sebenarnya ndhak kenal, tapi kalau asal dikasih ya ndhak papa. Yang dicari malah yang begitu ituuu. Nanti bisa lapor. Yang penting nanti kalau njenengan ditelpon, dijawab saja saya sudah kesini..."

Tetangga berlalu meninggalkan setumpuk pamflet, stiker, dan kresek putih satu plastik ( buat apa ya, pikir saya).

Masya Allah..
Sedih sekali. Inikah umat yang begitu dicintai Rasulullah sampai pada akhir hidup beliau, yang beliau lirihkan adalah umatnya, "umatii, umatii, umatii...".

Dalam ranah Yogyakarta saja, budaya pembodohan semacam ini semakin ngetrend, menjamur kayak kutu air.
Katanya mencerdaskan, tapi dimulai dengan mendidikbodohkan.
Katanya mensejahterakan, tapi awalannya memanjakan watak menerima-menerima (menghindari kata 'meminta'minta').
Katanya perbaikan, tapi dimulai dengan penghancuran :'(

Saya, dengan tidak berani mengatasnamakan siapapun, mengharapkan pemimpin yang nggak begitu-begitu.
Mana ya, pemimpin yang memiliki kader yang nggak cuma kenal tapi juga paham dengan calonnya. Jika ditanya, si kader bisa menjelaskan dengan baik dan cermat visi misi yang diemban. Melihat pemimpin tidak hanya dari pribadinya tapi juga kader-kadernya. Ada nggak ya, kader yang rela demi kebaikan kotanya, "ngiklan" tanpa bayaran. Yang diharapkan bukan ikan pancingan, kaos, jam dining, gula, teh, sembako. Cukuplah mengharap kebaikan di setiap lini wilayahnya.

Mengharapkan kader dan pemimpin yang memahami bahwa setiap perbaikan itu memiliki prioritas, memiliki tahapan. Tidak bisa membangun gedung-gedung betingkat, sarana-sarana, tapi lemah di sisi moral warganya. Warganya masih saja percaya ngalap berkah dari cucian kaki, dari tumpeng, dari gunungan. Mengharapkan pemimpin yang mnyelamatkan kami dinia dan akhirat. Yang tidak membeli suara-suara kami dengan ikan pancingan (weekk).

Oh, Bapak-bapak calon walikota..
Saya yakin semuanya baik. Jika tidak baik, tidak mungkin dicalonkan. Hanya saja, segala yang baik dan segala tujuan-tujuan yang baik itu perlu diawali dengan kebaikan pula. Kebaikan di awal, di tengah, dan di akhirnya. Itu insya Allah lebih diridhai dan lebih berkah. Karena kebaikan itu tidak bisa diawali dengan keburukan. Mungkin niatnya baik, tapi jika dampaknya terhadap orang lain buruk, maka mohon dipertimbangkan lagi. Ini akan menjadi pertimbangan jika targetannya bukan duniawi saja.

kalo ada yang oke, Coblos ajaaaa~!!!! yookk~!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar