Selasa, 27 September 2011

Elephant is. .

Barangkali sebagian dari kita pernah membaca kisah ini, atau kisah yang serupa dengannya. Tapi, dengan sedikit perubahan dan dramatisasi pada penghujungnya, saya ingin membawakannya kembali. Entah akan terambil hikmahnya atau tidak. Semoga.

---

Terkisah, ada tiga orang anak kecil dari kota dikumpulkan oleh seorang pemilik peternakan. Sang pemilik peternakan memiliki banyak sekali binatang ternak yang dipeliharanya dengan baik. Sangat berbeda dengan pemilik peternakan yang berkutat dengan binatang-binatang ternak setiap harinya, ketiga anak ini sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang binatang. Selama ini mereka mengenal binatang sebatas dari dongeng yang diceritakan oleh kedua orang tua mereka untuk  mengantar mereka terlelap tidur.

Singkat cerita, sang pemilik peternakan meminta ketiganya untuk bersedia ditutup matanya. Kemudian, mereka diminta untuk menebak binatang apa yang akan dihadapkan kepada mereka nanti. Mereka diperbolehkan meraba, tetapi tidak untuk membuka penutup mata.

Ketiga anak itu ditempatkan di posisinya masing-masing. Dekat dengan si binatang. Setelah diberi aba-aba, ketiganya mulai meraba. Tidak sampai lima menit waktu yang diberikan untuk meraba, kemudian mereka diminta menjelaskan tentang sebuah binatang yang tadi mereka raba, yang belakangan diberitahu oleh si pemilik bahwa binatang tersebut adalah gajah.

Si anak pertama berkata, "Gajah itu kecil. Ia bahkan pipih sekali! Aku bisa mengibas-ibaskannya dengan tanganku. Well, ia pasti lucu sekali."

Anak yang kedua diberi kesempatan untuk menjelaskan apa itu gajah. Ia berkata, "Tidak! Kau salah! Sama sekali salah! Gajah itu sungguh besar. Mungkin ia lebih besar dari pada ayahmu. Ia bulat. Tanganku tidak cukup panjang untuk melingkarinya. Kau benar-benar salah."

Sang pemilik peterbakan berpaling kepada anak ketiga. "Kalau kau, Nak, bagaimana menurutmu tentang gajah?"

"Sir, aku tidak yakin. Bagiku ia cukup berat. Sebesar pahaku, kurasa. Ia mengeluarkan angin yang hangat," menggaruk kepalanya. Berpikir. "Tapi, mungkin aku salah. Mataku tertutup. Semuanya gelap. Aku ingin melihatnya dengan mataku. Kalau aku boleh melihatnya..."

Sang pemilik peternakan tersenyum. Mengusap kepala ketiganya. "Ya, kalian boleh membuka mata kalian."

---

Yup.
Tidak ada yang salah dengan jawaban ketiganya. Bahwa gajah itu pipih, tentu saja itu benar. Si anak pertama mendapat telinga gajah. Ia mengibas-ibaskannya dan memainkannya. Si anak kedua meraba perut gajah. Itu juga tidak salah jika ia menjelaskan bahwa gajah itu besar. Dan si anak ketiga, menyebutkan apa yang ia ketahui tentang hidung gajah. Hanya saja si anak ketiga tidak cukup puas mengetahui dengan mata yang tertutup. Ia ingin mengetahui kebenaran itu secara keseluruhan.

Bahwa Islam mulai terkotak-kotak pun tentu saja sudah diprediksikan oleh Rasulullah. Tidak mesti salah pemahaman yang masing-masing diyakini oleh mereka.

Aku hanya meyakinkan diriku, bahwa mereka benar.
Mereka meyakininya dengan ilmu mereka.

Aku masih jauh untuk menjadi sang pemilik peternakan, yang mngetahui semuanya. Tapi aku tidak berharap menjadi si anak pertama atau bahkan kedua. Cukuplah aku mengakui bahwa aku belum benar-benar tahu, dan "bukalah penutup mataku" agar aku tahu.

qul innamal 'ilmu 'indallah.. (67:26)

'amal ba'da 'ilmu. .
wallahu a'lam bishshawab.

Antara Aku, Kota Bakpia, dan Pilkada

Sejak jamannya simbah masih mengalami penjajahan Jepang, tampaknya peribahasa "wong Jowo iku mati yen dipangkon (orang Jawa itu mati kalau dipangku)" masih berlaku sampai jaman wireless seperti sekarang. Pangku adalah salah satu tanda baca dalam aksara Jawa. Fungsi tanda baca ini memang untuk mematikan huruf Jawa yang terakhir dalam sebuah kata atau kalimat. Misal dari kata 'mas-ji-da' baru bisa dibaca 'masjid' kalau huruf 'da' dipangku. "Dipangku" sendiri memiliki makna "dikondisikan dalam keadanyaan senyaman-nyamannya". Kalau sudah nyaman ya mati.Toh yang namanya umpan selalu menggiurkan si target, to ya? Kalau sudah kecantol umpan, digoreng boleh, dikukus juga boleh. Entah orang Jepangnya yang mafhum dengan tabiat orang Jawa, nyatanya Jepang yang mengaku "Saudara Tua" Indonesia diterima baik di tanah air. Ditambah lagi jargon 3 A, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia", mantablah Indonesia berpihak kepada Jepang.

Hasilnya?

Kerugian moril dan meteriil simbah dan teman-teman seperjuangan simbah saat itu 100 kali lebih rugi dibandingkan saat penjajahan Indonesia oleh Belanda. Yah, Belanda yang menduduki (?) Indonesia sekitar 350 tahun itu saja masih bisa dibilang lebih 'manusiawi' daripada pendudukan Jepang di Indonesia yang hanya 3.5 tahun.

Hmm..

Tidak hendak mengungkit luka lama bangsa ini. Hanya saja, kok ya sekarang-sekarang ini seperti mengalami de-javu atas taktik "wong Jowo mati yen dipangkon" tadi. Ngilu sebenarnya mengingat kejadian di rumah tadi pagi. Ada tetangga berkunjung, heboh sekali mengajak bapak dan ibu mancing gratis di sebuah pemancingan. Nggak tanggung-tanggung, doorprize juga disediakan bagi pemancing yang tangkapan ikannya mumtaz.

"Berangkat saja, kan lumayan itu!!",kata tetangga.

"Nggih", kata bapak, asal saja.

"Asal dikasih ya seneng saja, nggih!"

"Lha tapi saya ndhak kenal pribadi calonnya.."

"Ya ndhak papa", kata tetangga semakin manteb. "Yang seperti njenengan itu banyak! Saya juga, sebenarnya ndhak kenal, tapi kalau asal dikasih ya ndhak papa. Yang dicari malah yang begitu ituuu. Nanti bisa lapor. Yang penting nanti kalau njenengan ditelpon, dijawab saja saya sudah kesini..."

Tetangga berlalu meninggalkan setumpuk pamflet, stiker, dan kresek putih satu plastik ( buat apa ya, pikir saya).

Masya Allah..
Sedih sekali. Inikah umat yang begitu dicintai Rasulullah sampai pada akhir hidup beliau, yang beliau lirihkan adalah umatnya, "umatii, umatii, umatii...".

Dalam ranah Yogyakarta saja, budaya pembodohan semacam ini semakin ngetrend, menjamur kayak kutu air.
Katanya mencerdaskan, tapi dimulai dengan mendidikbodohkan.
Katanya mensejahterakan, tapi awalannya memanjakan watak menerima-menerima (menghindari kata 'meminta'minta').
Katanya perbaikan, tapi dimulai dengan penghancuran :'(

Saya, dengan tidak berani mengatasnamakan siapapun, mengharapkan pemimpin yang nggak begitu-begitu.
Mana ya, pemimpin yang memiliki kader yang nggak cuma kenal tapi juga paham dengan calonnya. Jika ditanya, si kader bisa menjelaskan dengan baik dan cermat visi misi yang diemban. Melihat pemimpin tidak hanya dari pribadinya tapi juga kader-kadernya. Ada nggak ya, kader yang rela demi kebaikan kotanya, "ngiklan" tanpa bayaran. Yang diharapkan bukan ikan pancingan, kaos, jam dining, gula, teh, sembako. Cukuplah mengharap kebaikan di setiap lini wilayahnya.

Mengharapkan kader dan pemimpin yang memahami bahwa setiap perbaikan itu memiliki prioritas, memiliki tahapan. Tidak bisa membangun gedung-gedung betingkat, sarana-sarana, tapi lemah di sisi moral warganya. Warganya masih saja percaya ngalap berkah dari cucian kaki, dari tumpeng, dari gunungan. Mengharapkan pemimpin yang mnyelamatkan kami dinia dan akhirat. Yang tidak membeli suara-suara kami dengan ikan pancingan (weekk).

Oh, Bapak-bapak calon walikota..
Saya yakin semuanya baik. Jika tidak baik, tidak mungkin dicalonkan. Hanya saja, segala yang baik dan segala tujuan-tujuan yang baik itu perlu diawali dengan kebaikan pula. Kebaikan di awal, di tengah, dan di akhirnya. Itu insya Allah lebih diridhai dan lebih berkah. Karena kebaikan itu tidak bisa diawali dengan keburukan. Mungkin niatnya baik, tapi jika dampaknya terhadap orang lain buruk, maka mohon dipertimbangkan lagi. Ini akan menjadi pertimbangan jika targetannya bukan duniawi saja.

kalo ada yang oke, Coblos ajaaaa~!!!! yookk~!

Kehendak Allah itu (sebenarnya) Mudah Ditebak

" Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaan" ( Asy Syams : 8 ).

     Hakikatnya bukan malaikat, karena tak melulu berada dalam kepatuhan. Ianya sering bersalah dan mengulangi dosa. Bukan juga iblis yang istiqomah berdosa sampai hari kiamat kelak. Meskipun begitu, manusia ~dengan semua piranti yang diberikan kepadanya~, bisa dicemburui oleh malaikat karena ibadah yang ia lakukan. Pada saat yang sama, ia akan bertempat yang sama dengan syaithan jika amal timbangan keburukannya lebih berat daripada timbangan amal kebaikannya. Maka keduanya adalah pilihan, dan pilihan itu ada di tangan si manusianya sendiri.

     Hmmm.. Sebenarnya kehendak Allah itu mudah loh..

     Sepagi tadi, mengabsen apa-apa saja yang dimiliki sampai saat ini, jika itu digunakan dalam kebaikan, maka itulah kehendak Allah. Misalnya, jika yang kita miliki adalah suara yang bagus ~setidaknya yang bilang gitu ya cuma ibu kita.he~ maka shadaqahkan suara kita itu untuk tilawah. Membacanya dangan benar kemudian melagukannya. Kan banyak tuh, orang-orang yang mendapat hidayah setelah mendengar bacaan Qur'an. Umar ibn Khaththab juga demikian, kan?

     Jika, yang kita miliki adalah tulisan tangan bagus, maka berprasangka baiklah dengan tulisan tangan kita itu kita akan mengubah dunia dengan tulisan. Kan ada, sebuah lirik nasyid, "kata ibarat pedang yang tajamnya bisa membunuh lawan..". Maksudnya begitu besar peran kata-kata yang mempunyai ruh bisa mengubah sejarah, mengubah paradigma. Al Qur'anul Kariim tersusun pada masa Rasulullah, yang saat itu dunia persajakan sedang booming, sedang populer. Al Qur'an  hadir sebagai sajak terindah sepanjang masa, disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, nabi yang umi, yang tidak bisa baca tulis. Sehingga dengan itu, tak ada keraguan bahwa Al Qur'an memang bukan karya pemikiran manusia. Subhanallah skenario Allah saat itu..

     Atau mungkin kita memiliki kelebihan berupa kecerdasan, maka hak kecerdasan kita adalah menggunakannya dalam apa-apa yang bermanfaat untuk Islam. Ilmu adalah milik umat Islam. Betapa kita mengenal para 'ulama besar mengawali kemajuan pengetahuan di berbagai bidang. Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya, ibnu Haytsam dengan ilmu fisikanya, dan yang lain. Dan betapa Allah meninggikan derajat seeorang itu bukan dengan harta, bukan dengan rupa, tapi dengan ilmu. Rasullullah membandingkan ahli ilmu dengan ahli ibadah seperti bulan berbanding bintang di sekitarnya. Karena ibadah yang disertai ilmu akan lebih bernilai dan diterima oleh Allah. Jika mendapatkan dunia adalah dengan ilmu, maka untuk mendapatkan akhirat haruslah dengan ilmu.

     Tak lengkap kelebihan tanpa kekurangan. Dan kekurangan jika dimaknai dengan benar maka akan menjadi ladang pahala juga. Mengetahui bahwa kita memiliki karakter pemarah misalnya nih, akan menjadi jihad kalau kita mau menahan marah kita terus mengiringnya dengan pemaafan. Tarik napas dalam-dalam, tahan sebentar, keluarkan :)

     Atau kita merasa memiliki sifat "lemot" atau "lola"? hhhff.. Ibnu Hajar Al Asqalani mengajari kita untuk bersabar dalam belajar. Semasa mudanya beliau hampir putus asa dalam belajar. Hafalan teman-temannya lebih banyak. Sampai beliau menyendiri di sebuah gua dan mendapati tetesan air dari ujung stalaktit mampu menciptakan sebuah cekungan pada batu. Beliau tahu, air yang menetes itu, jika satu persatu menetes, sedikit demi sedikit menimpa batu, kepadatan batu akan kalah juga. Sehingga menjadilah beliau, menuangkan sebagian hafalan hadistnya dalam karya kitab Bulughul Maram sebagai buku referensi fiqh umat Islam. Waooww.. Subhanallah.

     Entahlah. Apapun yang kita miliki, jika itu runcing, maka gunakanlah dalam kebaikan. Jika masih tumpul, kita hanya tinggal mengasahnya saja. Dan tuailah pahala dalam setiap momen pengasahan itu. Yang mengetik inipun masih sangat jauh dari fase mengasah. Ianya masih perlu mencari, belajar, mengamati.

     Kita semua sama, Allah memfasilitasi kita dengan perangkat yang sama. Seperti yang terkutip dalam Asy Syams ayat 8. Kita sama-sama memiliki ilham fujur dan ilham taqwa. Maka manakah yang paling berat timbangannya di akhir nanti itulah hasilnya. Dan aku hanya berdoa semoga kitalah pemenangnya. Dengan Al Qur'an dan Sunnah sebagi kompasnya:)

...

pada suatu pagi hari, bada shubuh setelah mengerjai dan dimarahi kakak >
03092011

Berang-berang atau Kura-kura yang Jatuh Hati Adalah Kasihan :)

            Sungguh aku ingin mengusap kepalamu, Nico kecil. Nico kecil yang tak lagi kecil. Kau harus membagi pelajaran itu kepada teman-temanmu. Ya, tentang itu. Tentang mereka yang kau ~dengan polosnya~ menyebut mereka berang-berang, kura-kura, koala, rakun, atau beberapalah lagi namanya. Bagiku, cerita-ceritamu itu berarti kau sudah tak lagi kecil. Bagilah kepada mereka agar teman-temanmu pun terbelajar, terhikmah melaluimu.
            Hmm… Adalah kusebut itu hati, sesuatu yang membuatmu memiliki sensasi itu. Bagaimanalah kau menjadi tak bisa menjelaskan kenapa kau tak bisa tidur. Kau juga sampai melupakan sarapanmu, padahal kau tahu maagmu bisa kambuh kalau terus begitu. Dan terakhir kemarin, aku tahu beberapa kali kau tak khusyu dalam sholatmu.
            Ijinkan aku juga mencium keningmu.
            Tersampaikan indah kepada kita, bahwa hadist arbain yang pertama mengenai niat. Bahwa segala sesuatu kau dapatkan tergantung pada apa yang tersebut di dalam sini, di dalam hati. Hati yang mendengungkannya untukmu, sehingga kau melakukan sesuatu yang nampak itu baik tapi ternyata itu adalah sebuah kesiaan di hadapan Allah. Dari sisi Allah, sekali lagi dari sisi Allah, kau tak mendapat sedikitpun hasanah.
            Iya, aku ingat juga ketika kau menyampaikan padaku sekutip meteri kajian di masjid utara sana, tentang semisal jilbab yang kita pakai barangkali bisa saja menjadi dosa bagi kita apabila ~secara bawah sadar~ kita meniatkannya untuk menarik perhatian.
            Perhatian siapa? Perhatian berang-berang barangkali. Atau kura-kura.
            Bawah sadar. Terniatkan sudah.
            Sungguh, berolehkan aku memelukmu...
            Nico kecil, sebenarnya kau tahu teori itu, tapi entah kau kemanakan? Wahai.
            Berterimakasihlah kepada seseorang yang memeberitahumu bahwa barangkali kau egois sekali ketika melontarkan kalimat, “Ah, aku ‘kan tidak meniatkan bertingkah atau berbicara agar mereka memperhatikanku. Aku memang seperti itu. Itu aku, tidak dibuat-buat. Kalau mereka merasa aku bagaimana-bagaiman ya salahkan pikiran mereka sendiri.”
            Baiklah, kita garisbawahi kata “tidak dibuat-buat”. Nico kecil, barangkali, kita justru “perlu membuat-buat” diri kita. Bagaimanalah caranya agar tidak ada pikiran mereka itu.
            Nico kecil, tahukah bahwa kalau mungkin berang-berang, kura-kura, koala, panda juga sedang dalam proses memperbaiki diri? Mungkin mereka sedang berproses menyempurna menjaga pandangan, menjaga hati juga. Nah, takkah kau kasihan jika dengan “tidak dibuat-buatmu” itu kau bisa saja mengehentikan langkah perbaikan mereka? Nico kecil, berterimakasihlah pada seseorang yang mengataimu itu egois namanya…
            Bunga yang tersemai sebelum waktunya, serupa cinta yang tersemi sebelum masanya. Nico kecil, jatuh cinta sebelum waktunya itu kasihan. Kasihan! Maka tolonglah mereka dengan mengubah “tidak dibuat-buat”mu itu menjadi “memang perlu dibuat-buat”.
            Nico kecil, sepakatkah kita kalau “dibuat-buat” di sini berlepas dari pandangan manusia dan segenap anggapan mereka? Cukuplah Allah, yang mengetahui kau sebenarnya. Maka itu akan mudah bagimu.
            “Perlu dibuat-buat”, Nico kecil. Bukan hanya “dibuat-buat” karena kau akan merancukan maknanya.
            Oya, memangnya kenapa kalau kau tomboy? Wahai Nico kecil, apapun warnanya, kupu itu tertakdir indah, bagi siapapun penikmatnya. Jadi jangan lagi mengabsen kekurang-kekurangnmu sebagai dalih agar mereka tak menyukaimu. Ingat, kupu-kupu tertakdir indah bagi penikmat warnanya. Sungguh berbanyak orang yang bisa menyaksikan kupu-kupu, apapun warna kupu-kupu itu. Masing-masing mereka berbeda. Ada segelintir tak suka kuning, namun terkesima anggunnya hijau. Mungkin tersebutlah beberapa tak nyaman menatap biru, namun tarhanyut oleh jingga. Apapun warna kupu-kupu, tak semua orang tak suka, sebagaimana tak semua orang suka. Nah, untuk yang disebutkan pertamalah si kupu-kupu perlu menghindar.
            Bagaimana berjilbab, bagaimana berbicara, bagaimana berinteraksi dengan mereka, kau pasti sudah tahu teorinya.
Aku percaya kau padamu, Nico kecil…
Untuk Allah, mungkin kita memang “perlu dibuat-buat”.
Dan ini, sungguh ijinkan aku memintamu bersepakat denganku bahwa kita akan sama-sama menjadi lebih baik. Untuk Allah, hanya untuk Allah..

Waltinem

Ini kisah sewaktu Titis masih kecil. Si Titis kecil bersama Simbah Putri. Dulu sih Titis tidak tahu akan sedalam ini mengingatnya. Apalagi setelah membaca buku itu. Kan dulu belum ada buku itu. Lagian mana mau coba, Titis kecil membaca buku yang gambar depannya orang gede gitu (dulu Titis kecil sukanya komik Chinmi!). Alih-alih dibaca, kalau dulu Titis punya buku itu mungkin cuma akan diberikan pada Simbah. Simbah akan suka sekali kalau punya banyak kertas tidak terpakai.

“Biarpun kertas bekas, kalau masih bisa dimanfaatkan, ya dipakai. Bisa jadi rizki. Jangan mubadzir”, kata Simbah dulu mengajari Titis.

Oya, Simbah Putri kan tidak bisa membaca. Jadi, jangan salahkan Simbah kalau tidak bisa membedakan mana buku bermanfaat dan mana kertas bekas. Bagi Simbah sama saja itu. Iya, nantinya sama saja, untuk membungkus tempe atau bawang merah atau cabai.

Tapi bagi Titis, Simbah kelak adalah seorang penulis, sekalipun tanpa kemampuan baca tulis. Simbah kelak akan menulis di dalam lembaran-lembaran kertas warna-warni di dalam hati Titis. Dengan hiasan berbanyak bunga di mana saja sudutnya. Dengan pena kesahajaan dan tinta tulus doa juga tutur kata. Kelak, tiga belas tahun lagi, lembaran-lembaran wangi itu akan terjadi satu dalam ikatan rindu, yang hanya untuk Simbah.

Tapi kenapa mesti tiga belas tahun lagi? Kan itu berarti menunggu Titis dua puluh tahun usianya. Kan Simbah sudah baik pada cucu-cucunya sejak Titis kecil. Memangnya Titis yang sebelum dua puluh tahun itu kenapa?
Dalam hati, Titis pun menanyakan pertanyaan-pertanyaan serupa kepada dirinya sendiri. Hanya saja dengan intonasi berbeda. Intonasi menyalahkan dan ketukan penyesalan. Tiga belas tahun lagi.

***




“Ibuku dokter,” kata Wulan kepada teman-temannya. Saat itu jam istirahat sekolah. “Kalau Satria mengusili kita lagi, bilang saja pada ibuku, biar Satria disuntik! Biar kapok!”

Kemarin memang Titis berantem sama anak bernama Satria itu. Gemuk badannya, nakal sekali. Teman Titis banyak yang takut padanya. Meskipun sama-sama masih kelas dua, tapi Satria ini badannya mirip kelas enam saja. Yang berani melawannya ya baru Titis kemarin ini. Titis kecil tomboy sekali.

“Halah, coba bilang pada Oomku. Oomku itu tentara ya. Sekali tembak, selesai sudah!”, celetuk Ahmad. Dasar Ahmad, anarkis sekali. Memangnya apaan.

“Ngapain bilang orang-orang. Cuma Satria aja, sendiri juga berani”, kata Titis, gerah teman-temannya pamer begitu.

“Ya jelaslah sendirian. Memangnya mau bilang sama neneknya titis di desa?”, timpal Adi. “Bisa-bisa dilempar bawang!”.

“Hah? Dilempar bawang?”, Ahmad bingung.

“Neneknya Titis itu jualan sayuran di pasar, nggak ngerti, ya?! Makanya hati-hati, Mad!”, disusul gelak tawa lebar-lebar (ingin sekali Titis menyumpalnya dengan sesuatu).

Titis melotot. Terbakarlah Titis. Maka meraih ransel Adi, kasar sekali meraihnya. Membawanya keluar kelas lalu memuntahkan isinya di depan pintu. Otomatis berserakan semua. Buku, pensil, penggaris, kertas-kertas (ada komik itu!), semuanya.

Wulan, Ahmad, dan Adi hanya bisa diam demi melihat pemandangan itu. Takut mereka. Titis yang marah saja berani melawan Satria, apalagi pada mereka? Mana berani mereka protes. Mana ada yang tahu Titis akan semarah itu dengan guyonan basi Adi itu, toh biasanya Adi tidak pernah sukses melucu.

Ah, bagi Titis, Adi baru saja melempar sebuah batu besar ke dalam danau yang tenang. Seketika mencipta gelombang besar kemarahan pada permukaan. Dan kalaupun permukaan itu kembali tenang nanti, tetap saja danau itu tidak akan sama seperti awalnya. Karena jadilah di dalam danau itu sebuah batu besar. Tidak tampak dari permukaan luar, namun batu itu tetap di dasar. Tidak sama lagi.

***

“Titis masih marah? Iya, Adi menyebalkan. Tapi Titis jangan marah lagi ya. Di sini saja main-main”, rayu Wulan.

Ba’da dhuhur, sudah pulang sekolah ini. Keduanya asyik memainkan mainan bidak-bidak penguin di rumah Wulan. Kecil penguin ini, di bawahnya ada rodanya. Kalau diletakkan pada relnya, bidak penguin akan meluncur mulus. Memperhatikannya, lalu mempelajari cara kerja mainan itu membuat Titis sedikit abai pada insiden tas-berserakan-saat-istirahat itu.

“Iya, sudah nggak marah kok”, bohong ini.

Rumah yang bersih, tapi agak bau obat. Titis tidak merasa terganggu.

Sebenarnya, memang Titis dulunya sempat tinggal di desa beberapa tahun. Bersama Simbah Putri. Adi benar, Simbah memang jualan sayur di pasar. Selama ini Titis tidak merasa ada yang salah dengan itu. Tapi kenapa Titis tadi jadi sebal sekali? Atau bukan sebal barangkali. Atau malu?

Hanya, sejak kelas dua ini, Titis tinggal di kota karena ibu dan ayah harus bekerja. Ibu bekerja di luar kota malah. Titis dititipkan pada nenek dari ayah. Yang dimaksud Adi tadi adalah nenek dari ibu, yang di desa itu.

Lalu,
Tok. Tok. Tok. Suara pintu diketuk dari luar. Diiringi salam, Titis kenal suaranya., “Assalamu’alaykum”.

“Wa’alaykum salam”, jawab Wulan. Menghambur membukakan pintu.
Nenek rupanya, nenek dari ayah.

“Mbak Wulan, Titis main di sini? Dicari neneknya dari desa. Kalau ada, Titis pulang dulu”, kata nenek.
Apa? Nenek dari desa?

“Nggak mau! Sedang sibuk sama Wulan!”, Titis nongol dari dalam.

“Lhoh, itu simbah datang jauh-jauh! Panas-panas! Dari pasar. Ayo!”
Dari pasar? Apa kata teman-teman kalau mereka tahu, coba?!

“Nggak mauu!! Rrgggh!”, Titis ngeyel.

“Ayyoooohh!”, nenek menyeret paksa Titis. Ikut juga akhirnya.

Rumah Wulan dekat, lima menit jalan kaki saja sudah sampai rumah. Sepanjang jalan pulang tadi Titis membisu, Nenek tidak tahu yang terjadi hari ini di sekolah. Perasaan Titis menjadi aneh. Ia sendiri tidak bisa menjelaskan. Jahat.

“Itu, salim sama simbah”, suruh Nenek saat sampai.

Melihat sosok itu. Kumal. Bau matahari. Pakai kebaya, batik. Ada keranjang anyam dari bambu di sampingnya, namanya keranjang bakul. Selendang di atas keranjang, selendang untuk menggendong bakul berisi macam-macam sayur. Ada yang tersulut lagi di dalam dada Titis. Lehernya seperti sakit menahan sesuatu. Menyalalah lagi.

“Nggak mau!! Mau main saja!! Huhh!”, Titis menjadi aneh. Berlari, tidak tahu ke mana. Ke rumah Wulan lagi barangkali. Tidak ada yang benar-benar mengerti perasaan Titis saat itu.

Hei Titis kecil, itu Simbah menjengukmu. Ingin tahu apakah kau di kota baik-baik saja. Sudah lama tidak bertemu Simbah, pasti Simbah kangen, kan? Itu, sebenarnya Simbah membawakanmu jajanan pasar kesukaanmu. Ada juga mangga. Ada juga pisang. Semua yang Titis suka. Tak lupa Simbah juga membawa sayur mayur agar diolah Nenek. Semuanya di dalam bakul Simbah. Simbah yang menggendongnya. Panas-panas begini.

Berat? Tidak apa-apa, kan tadinya mau ketemu Titis..

***

Sejadinya, Titis ingin menangis.

Kalau ingat pernah meninggalkan Simbah seperti itu tiga belas tahun lalu, cukuplah Titis terima dibilang anak paling jahat sedunia.

Titis lupa, ya?
Kalau dulu Titis dimarahi Ayah, Titis selalu berlindung di balik Simbah. Simbah melindungi Titis biar tidak jadi dipukul Ayah pakai sapu lidi. Kalaupun jadi dipukul, yang kena Simbah jadinya.

Titis lupa, ya?
Dulu Titis suka sekali dibonceng pakai sepeda onta Simbah setelah Simbah pulang dari pasar. Lewat sawah-sawah. Simbah selalu membanggakan Titis kalau di jalan berpapasan dengan tetangga atau kenalan Simbah.
“Iya, ini cucu Simbah”, kata Simbah bangga.

Titis lupa, ya?
Dulu Titis kalau tidur di kamar Simbah, sering terbangun subuh-subuh, dan mendapati Simbah sedang khusyu’ solat Subuh. Titis pura-pura masih tidur itu, melirik sipit-sipit Simbah yang masih solat. Simbah takkan lupa menyebut Titis dalam pinta-pintanya.

Dan meskipun akhirnya Titis benar-benar tidur lagi setelah Simbah usai solat, Simbah tetap akan berangkat ke pasar pagi-pagi dengan berat hati. Karena meninggalkan Titis yang pulas tidurnya. Tidak dibangunkan, biar siang nanti tidak ngantuk di sekolah. Titis kan masih kecil, belum solat tidak apa-apa.

Titis lupa, ya?
Simbah selalu membawakan oleh-oleh kalau pulang dari pasar. Lelah Simbah hilang dengan ketemu cucu-cucunya. Titis juga selalu senang kalau Simbah pulang dari pasar. Menanti-nanti tidak sabar. “Simbah hari ini membawa oleh-oleh apa, ya?”, begitu Titis kecil selalu berharap.

Titis lupa, ya?
Saat Titis opname di rumah sakit, Simbah rela tidak berjualan hari itu agar bisa menjenguk Titis. Menjadi tamu pertama yang menjenguk Titis. Menjadi satu-satunya yang menangis saat menjenguk Titis. Titis tahu Titis yang sakit, memakai selang oksigen, terikat selang infus juga, tapi kenapa Simbah yang menangis?

Atau Titis lupa, ya?
Simbah selalu ingin Titis jadi anak baik. Patuh pada orang tua. Kalau sudah gede jangan sampai tidak solat. Ingatlah Allah, kalau minta tolong ya sama Allah. Simbah juga bilang, harta bukan segalanya. Kalau Titis besar nanti, jangan sampai harta melalaikan Titis. Meskipun jualan sayur di pasar, Simbah meneladani untuk tetap banyak bersyukur.

Titis, Simbah tidak berharap banyak. Simbah hanya ingin semuanya selamat. Dunia akhirat.

***

“Women of Heaven”, Titis menggumam judul buku itu. Tiga belas tahun selepas insiden tas-berserakan-saat-istirahat. Tiga belas tahun selepas menyakiti hati Simbah.
Lamat-lamat Titis membacanya, sebelum tidur.

Ah, seandainya Simbah bisa membaca, buku ini mungkin akan Titis berikan pada Simbah (kalau sekarang diberikan bisa gawat, bisa dipakai untuk membungkus cabai lagi!).
Buku ini adalah tentang Simbah. Simbah yang meneladani sifat qana’ah Fatimah az-Zahra, yang menerima segenap keterbatasan bukan untuk diratapi, namun disyukuri.

“Bersikaplah ridha terhadap apa yang dibagikan oleh Allah, niscaya kamu menjadi manusia paling kaya” (H.R. Ahmad), dari Women of Heaven, halaman 95, buah tangan Ustadzah Evi Ni’matuzzakiyah.

***

Simbah, betapa Titis cucumu itu dibuat paham sekarang.
Titis ingin mengulang. Titis ingin tidak mendengarkan apapun yang orang lain katakan tentang Simbah. Titis sungguh tidak ingin meninggalkan Simbah saat itu.

Simbah, cukuplah Titis bangga selamanya menjadi cucu kecil Simbah. Memberantakkan cabai-cabai Simbah demi mencari oleh-oleh jajan pasar (maaf ya, Simbah). Dan cukuplah Simbah yang sederhana itu adalah Woman of Heaven-nya Titis.

Simbah percayalah, kalau sekarang Simbah main ke tempat Titis lalu ada teman-teman Titis juga sedang main, Titis akan dengan bangga menggandeng Simbah.

Titis akan bilang kepada teman-teman Titis, “Ini Simbah Titis, Simbah Waltinem namanya”.

***


Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

cukup Allah yang tahu:)

Ya Allah.. hari ini Titis merasa begini begini begini..
padahal kan Titis begini begini begini..

Lalu kemarin juga begini begini begini..
Tapi Titis sudah begini begini begini, Ya Allah..

Ya Allah..
Titis masih ingin begini begini begini..
Menjadi orang yg begini begini begini..
Melanjutkan begini begini begini..

Ya Allah.. iya, Titis ingin doa yang kemarin itu..
Allah, Kau Baik sekali..

:)

Balada Bihun dan Mi Instan

Benar-benar sudah rahasia umum bahwa bihun sangat getol terhadap mi instan..

buhun     : "dasar gendut kriting, hiiih.. orang-orang masih pada mau beliii"
mi instan   : "kafilah menggonggong gue berlalu aaah.."

Begitu melulu, berlanjut terus karena mi instan selalu lebih banyak dicomot pembeli daripada bihun. Hingga suatu hari datanglah pendatang baru mengisi salah satu sisi rak minimarket. Tersebutlah spaghetti. Melihat si spaghetti ini, bihun semakin gelap mata, melompat dari raknya dan nylonong ke rak spaghetti.

bihun    :" eh !! dasar elo yaa! mentang-mentang di-rebounding dikira gue bakal ketipu!!"

bihun melanjutkan menimpuki kepala spaghetti. .

Teruntuk "Sobat" Kami..

Bismillaahirrahmaanirrahiim..

Saat itu, seusai pelajaran di kelas, aku berkumpul dengan beberapa teman-temanku di serambi mushola sekolah. Serambi itu kecil, tapi kata teman-teman, kita akan merasakan keteduhan yang dalam saat kita berada di sana. Mushola itu masih sederhana kala itu. Dinding-dindingnya belum mengalami renovasi seperti sekarang. Belum ada keramik berukir, belum ada almari-almari buku bacaan, belum ada beberapa pahatan tambahan. Tetapi, sungguh tidak pernah ada yang sempat menduga, di tempat aku dan beberapa temanku bercengkrama itu, akan tercipta sebuah momen indah tak terlupakan bagi kami. Sama sekali tak sesederhana serambi mushola kala itu.

Kami masih asyik bergurau, bergosip 'ngalor-ngidul'. Dan saat itulah, kakak kami datang. Kami ingat betul bunyi motornya. Yah, mungkin itulah salah satu cara aneh kami mencintai kakak kami ini, kami sampai menghapal suara deru motornya.

Sosok dengan wajah senyum itu berjalan ke arah kami. Tampaknya kakak habis kuliah, seragamnya masih ia kenakan. Jilbab besar dan kemeja warna putih, serta rok biru dan ransel biru navy. Kakak menghampiri kami, menyalami kami dan bercium pipi dengan kami. Hehe, jangan iri, ya.

Kakak duduk di antara kami, dan kami pun larut dalam obrolan hangat bersama kakak. Iya, hangat, sampai aku ingin kau pun juga turut merasakan kehangatan ini di dadamu meskipun kau tidak bersama kami saat itu:)

Kakak mulai mengeluarkan sebuah buku.

"Tamasya ke Syurga", judul besar pada halaman muka buku itu.

Akan kukutip sepenggal isi buku yang sempat kakak kisahkan untuk kami, kukutip ini untuk kalian:)

"...dan bagi mereka yang banyak beramal sholeh, sehingga berat timbangan amalan baiknya lebih berat dibandingkan timbangan amal keburukannya, maka Allah Menjanjikan syurga untuk mereka. Tidak ada yang lebih menepati janji selain Allah. Insya Allah. Mereka menemui sakaratul mautnya dengan kemudahan atas izin Allah. Ruh mereka keluar begitu mudahnya, seperti air yang mengalir dari mulut tempat air minum. Dalam pandangan mereka, terbias indahnya sebuah taman. Tidak ada taman di dunia ini yang mampu menandingi keindahan taman ini.

Perlahan, ruh mereka meninggalkan jasad. Mulai dari kaki, naik ke kepala. Sakit yang dirasa, tapi merekah senyum mereka. Mereka tahu sebentar lagi mereka menemui sesuatu yang begitu mereka rindukan selama ini. Ada sebuah kerinduan membuncah, serta segenap memori terputar indah. Saat ruh hampir meninggalkan jasad, air mata pun tak terasa terurai. Tapi senyum itu masih di sana, hingga benar-benar hanya jasad yang berbaring di sana."

Kakak tersenyum kecil. Di balik kaca matanya,kami melihat kerut matanya manandakan senyum itu tulus untuk kami. Kakak mungkin juga sedang menahan tangis haru.

Kakak melanjutkan, "Malaikat menyambut ruh sang hamba Allah yang shalih. Dengan salam serta ucapan selamat dari makhluk suci Allah ini. Malaikat membawa ruh itu dengan hati-hati, menggunakan sehelai kain dengan bahan terhalus yang hanya mampu kita bayangkan. Aroma wangi tercium sampai ke langit. Ruh itu dibawa dengan sangat hati-hati sampai ke langit.

Setibanya di langit, para malaikat bertanya-tanya ruh siapakah yang begitu harum tercium sampai ke langit? 'Ini adalah ruh Fulan bin Fulan', jawab seorang malaikat. Pintu langit terbuka lebar untuknya, dan Allah Menghendaki ruh Fulan ini menanti hari berbangkit di alam kuburnya. DilebarkanNya alam kuburnya sejauh pandang. DihiasiNya dengan taman-taman terindah sebagai tempat penantiannya. Inilah balasan untuknya. Malaikat kembali menurunkan ruhnya. Di sanalah ia menanti."

Kakak menyelesaikan kutipannya. Menghela napas. Melihat reaksi kami.

Kami tidak bereaksi berarti, sesekali tersesak ingin menangis. Kami tenggelam oleh imajinasi kami. Kakak membuka sisi lain sudut pandang kami mengenai maut. Kematian begitu indah dan hanya mampu dirindukan oleh hamba-hamba Allah yang seluruh hidupnya telah diserahkan pada Allah, yaitu hamba-hambaNya yang telah melakukan jual-beli surga dengan Allah.

Sesungguhnya Allah sesuai persangkaan hambaNya. betapa aku ingin membagi kisah kami ini dengan kalian. Aku ingin seperti kakak, menghidupkan kembali arti mati dalam hati kita. Sudahkah kita merindukan mati? Cukupkah amal kita apabila mungkin dalam hitungan hari, atau jam, atau menit, atau mungkin detik setelah ini malaikat menjemput kita??

Sungguh Allah mencintai kita. Adalah Allah yang ingin memberi kita kesempatan untuk bertaubat saat Ia membuat kita ingat akan indahnya mati. Sungguh banyak, teramat banyak malah, orang-orang yang menjemput ajalnya secara tiba-tiba tanpa merasakan sebelumnya bahwa ia sudah begitu dekat dengan mautnya. Mereka belum sempat bertaubat, mereka belum sempat meminta maaf pada orang-orang yang ia pernah dzalim terhadap mereka.

Saudaraku, Allah Mencintai kita. Allah Mencintai kita. Allah Mencintai kita.
Teriring doa, semoga kelak kita dimampukan bereuni di jannahNya.
Terucap permohonan maaf, beribu maaf, apabila aku yang bukan siapa-siapa ini pernah berkata dan bertindak menyakiti kalian. Sungguh mohon maaf.

[[ Teruntuk Kakak, sungguh akupun merindukanmu,
kau pasti saat ini berbahagia di tempat penantianmu:')
kau masih ada di dalam sini, di sini, di hati kami ]]

Mahasiswi (Akhwat) Pemulung

Berulang kali mencari dan membaca artikel ini. Tentang seorang (super) akhwat yang menjadi salah satu motivasiku saat ini. Artikel ini sudah sangat lama sebenarnya, tapi insya Allah akan menjadi hikmah sepanjang masa. Ukhti Ming Ming, sungguh kau meneladani kami dengan kezuhudan dan ikhtiarmu, pun segenap keterbatasan tak menghalangi jalanmu menuntut ilmu. Kau mengajari bermohon diberi kekuatan, bukan kemudahan. Karena kau tahu kekuatan itu melahirkan ikhtiar, sedangkan kemudahan mungkin akan melenakan. Jazakillah, Ukht..


-----
Mahasiswi (Akhwat) Pemulung

Namanya Ming Ming Sari Nuryanti. Memakai gamis hijau, jilbab lebar dan tas ransel berwarna hitam, dia memasuki lobi Universitas Pamulang (UNPAM), Tangerang. Dia adalah mahasiswa semester 1 jurusan akuntansi. Usianya baru 17 tahun. Dan dia adalah salah satu mahasiswa terpandai di kelasnya.

Saat kelas usai, dia pergi ke perpus. "Ilmu sangat penting. Dengan Ilmu saya bisa memimpin diri saya. Dengan ilmu saya bisa memimpin keluarga. Dengan ilmu saya bisa memimpin bangsa. Dan dengan ilmu saya bisa memimpin dunia.." Itu asalan Ming Ming kenapa saat istirahat dia lebih senang ke perpustakaan daripada tempat lain. (keren ya…)

Sore hari setelah kuliah usai, Ming Ming menuju salah satu sudut kampus. Di sebuah ruangan kecil, dia bersama beberapa temannya mengadakan pengajian bersama. Ini adalah kegiatan rutin mereka, yang merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa di UNPAM. Setelah itu, dia bergegas keluar dari komplek kampus.

Namun dia tidak naik kendaraan untuk pulang. Sambil berjalan, dia memungut dan mengumpulkan plastik bekas minuman yang dia temui di sepanjang jalan.. Dia berjalan kaki sehari kurang lebih 10 km. Selama berjalan itulah, dengan menggunakan karung plastik, dia memperoleh banyak plastik untuk dia bawa pulang.

Rumah Ming Ming jauh dari kampus. Dia tinggal bersama ibu dan 6 orang adiknya yang masih kecil-kecil. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang mereka pinjam dari saudara mereka di Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor. Biasanya setelah berjalan hampir 10 km, untuk sampai ke rumahnya Ming Ming menumpang truk. Sopir truk yang lewat, sudah kenal denganya, sehingga mereka selalu memberi tumpangan di bak belakang. Subhanallah, setelah truk berhenti dengan tangkas dia naik ke bak belakang lewat sisi samping yang tinggi itu.. (can you imagine it ?)

Ming Ming sekeluarga adalah pemulung. Dia, ibu dan adik-adiknya mengumpulkan plastik, dibersihkan kemudian dijual lagi. Dari memulung sampah inilah mereka hidup dan Ming Ming kuliah.

Ini adalah cerita nyata yang aku saksikan dalam tayangan berita MATAHATI di DAAI TV sore kemarin (26/5/2008). Sungguh episode yang membuat bulu kuduku merinding dan mataku berkaca-kaca...

sumber: http://ketupatfavorit.blogspot.com/2008/06/mahasiswi-akhwat-pemulung.html

Kiat Agar Tetap Itiqamah

Seorang sahabat kami tercinta, dulunya adalah orang yang menuntun kami untuk mengenal ajaran islam yang haq (yang benar). Awalnya, ia begitu gigih menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun selalu memberikan wejangan dan memberikan beberapa bacaan tentang Islam kepada kami. Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu berubah. Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah suatu yang wajib bagi seorang pria, lambat laun menjadi pudar dari dirinya. Ajaran tersebut tertanggal satu demi satu. Dan setelah lepas dari dunia kampus, kabarnya pun sudah semakin tidak jelas. Kami hanya berdo’a semoga sahabat kami ini diberi petunjuk oleh Allah.


Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini. Dengan tujuan agar kaum muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini dan telah mengenal lebih mendalam ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengetahui bagaimanakah kiat agar tetap istiqomah dalam beragama, mengikuti ajaran Nabi dan agar bisa tegar dalam beramal. Semoga bermanfaat.

Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah

Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.[1] Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.

Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)

Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:

1. Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
2. Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
3. Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.[2]

Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan.

Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput[3] “Janganlah takut dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan. [4]

Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah.
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]

Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)

Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».

“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”[7]

Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah

Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”[8]

Kiat Agar Tetap Istiqomah

Ada beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.

Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .

“Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.“[9]

Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.[10]

Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya adalah karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.

Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.

Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.

Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)[11] menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)

Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا

“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)

Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. [12] Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ

“Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang beriman.”[13] Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai keraguan.”[14]

Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.

Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah

Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [15]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[16]

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.”[17] Yaitu Ibnu ‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”[18]

Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.

Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.

Dalam Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11)

Contohnya kita bisa mengambil kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)

“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiya’: 68-70)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Akhir perkataan Ibrahim ketika dilemparkan dalam kobaran api adalah “hasbiyallahu wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat bersandar).”[19] Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian tersebut? Beliau menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun selamat. Begitu pula kita ketika hendak istiqomah, juga sudah seharusnya melakukan sebagaimana yang Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting dari kisah seorang Nabi.

Begitu pula kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam firman Allah,
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ

“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.” (QS. Asy Syu’aro: 61-62). Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Musa ‘alaihis salam ketika berada dalam kondisi sempit? Dia begitu yakin dengan pertolongan Allah yang begitu dekat. Inilah yang bisa kita contoh.

Oleh karena itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang sholih agar bisa diambil teladan sebagaimana mereka katakan berikut ini.

Basyr bin Al Harits Al Hafi mengatakan,
أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ

“Betapa banyak manusia yang telah mati (yaitu orang-orang yang sholih, pen) membuat hati menjadi hidup karena mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu orang-orang fasik, pen) membuat hati ini mati karena melihat mereka.“[20] Itulah orang-orang sholih yang jika dipelajari jalan hidupnya akan membuat hati semakin hidup, walaupun mereka sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita. Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah kisah-kisah para artis, yang menjadi public figure. Walaupun mereka hidup, bukan malah membuat hati semakin hidup. Mengetahui kisah-kisah mereka mati membuat kita semakin tamak pada dunia dan gila harta. Wallahul muwaffiq.

Imam Abu Hanifah juga lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah mengatakan,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ

“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.“[21]

Begitu pula yang dilakukan oleh Ibnul Mubarok yang memiliki nasehat-nasehat yang menyentuh qolbu. Sampai-sampai ‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan mengenai Ibnul Mubarok, “Kedua mataku ini tidak pernah melihat pemberi nasehat yang paling bagus dari umat ini kecuali Ibnul Mubarok.“[22]

Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnul Mubarok biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang menanyakan pada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnul Mubarok menjawab, “Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [23] Maksudnya, Ibnul Mubarok tidak pernah merasa kesepian karena sibuk mempelajari jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Itulah pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian dan gundah gulana, serta hati akan terus kokoh.

Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.

Di antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar diberi keteguhan di atas kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 250)

Do’a lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)

Do’a yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.“[24]
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا

“Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.“[25]

Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.

Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)

Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [26]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”[27]

Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ

“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[28] Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.

‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”

Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[29]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]

Itulah pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh karena itu, sangat penting sekali mencari lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan menyemangati kepada kebaikan.

Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.

Demikian beberapa kiat mengenai istiqomah. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita di atas ajaran agama yang hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.

***

Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 20 Dzulhijah 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

JANGAN DIBACA

Benar-benar ingin meluapkan kemarahan ( kalo ndhak lagi d warnet, ini keyboard bs dibikin jebol gara2 saking mantebhnya ngetik ).

Alkisah bermula beberapa hari lalu. Setelah jaga shift malam di apotek, muncullah kawanan ABG ( Anak mBlung bin Gendhenk ). Berseragam sekolah ala (katanya) jaman sekarang. Pake jamper yg g tau hasil nodong simboknya atau minjem bolonya, asal bukan minjem jemuran tetangganya tapi ndhak bilang.
Yang satu ndhak kalah style, rambut mohawk ala minyak jlantah (*1).

Jam segitu, pagi-pagi pas jam-jamnya jogja ini mulai sibuk. "Dua ABG ini kok belon masuk sekolah ?", aku membatin. Merasa ndhak penting, pertanyaan itu tak simpenm dalam hati.

Aku : (menyambut ABG) "Silahkan, ada yg bisa dibantu?"
ABG1 : ee.. Mbak.. ee..(malu2)
Aku : (dalam hati : "jangan2 naksir nih. A'udzubillahiminasysyaithaanirrajiim 3x". membanding-bandingkan wujud sang ABG dengan wujud makhluk dalam doa yg td dibatin).
ABG2 : (nyletuk pada ABG1. tampangnya ndhak kalah blo'on dan ngowoh) "Kamu aja yg ngomong, Dul. (mungkin nama temannya ini Paidul)
ABG1 : (tambah malu2) "Mbak beli Sut*a" (menyebutkan merek alat kontrasepsi)
Aku : (dalam hati : "Jiaaaaaaan!!!!!")

...

Seharusnya pagi itu menjadi detik2 yg indah menanti pergantian shift setelah begitu letih jaga malem. Tapi betapa diri ini pengen berubah menjadi Super Saiya level 3 setelah ketemu dua trondhol ini.

Betapa merusak pagiku yg indah...

...

Dalam hati, sampai sekarang pun masih jengkel. Pengen ngomel-ngomel.

Apa ya mereka ini ndhak ingat bapak lan simboknya??
Apa ya mereka ini lahir sendiri ceproot terus hidup seneng-seneng terus mati jadi tanah aja??

...

yaahh.. cuma bisa khusnudzon mungkin pada mau praktek biologi di sekolahnya.
atau mereka lagi ngumpulin tugas KIR yg mbahas tema reproduksi..

wallahu a'lam...

Bagaimanapun, percaya atau ndhak, jalan hidup itu kita sendiri yg menntukan. Meskipun sudah ada yg Ngatur, tapi tetep inget dan yakin aja bahwa Gusti Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum selama kaum itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri.

Ada sebab ada akibat. Sekarang menanam, besok menuai.
Siapapun Sampeyan, sudah sepantasnya berterima kasih pada bapak lan simbok Sampeyan masing2. Sudah dilahirken ( sama simbok tentunya ), sudah digedeken (maksudnya "dibesarkan"), ditungguin pas Sampeyan nangis semaleman, sudah ngompolin simbok lan bapak Sampeyan, apalagi simbok lan bapak mbersihin "ampas" sampeyan. Kok tega-teganya MENIKAM dari belakang gitu??!

Masya Allah..,
Astagfirullah hal adziim...,

Yg nulis catatan ini juga bukan org yg sempurna wal perpek. Tp pengennya menuju ke sana.
Gusti Allah ndhak melihat hasil Sampeyan, Gusti Allah melihat proses. Selama masih bisa ambegan(*2), berarti ya tiap tarikan napas itu adalah bukti cinta Gusti Allah yg Memberi Sampeyan kesempatan menjadi lebih baik.

Toh Islam kalo ndhak salah artinya "tangga". Filosofi satu kata ini begitu unik, sarat makna.
Setapak demi setapak itu menuju ke atas. Insya Allah. Sampeyan ndhak pengen??

...

Nggih pun..
Mangga kula aturaken ndonga sesarengan mugi-mugu kula, njenengan, bolo-bolo samenika, lan ABG-ABG muslim wonten ing donya menika tansah slamet mlampahi andha menika...(*3)

Amiiiinn...

.............................................................................................

*1 jlantah : minyak goreng bekas menggoreng berkali-kali
*2 ambegan : bernapas
*3 "Mangga kula aturaken ndonga sesarengan mugi-mugu kula, njenengan, bolo-bolo samenika, lan ABG-ABG muslim wonten ing donya menika tansah slamet mlampahi andha menika..." ( silahkan saya persilahkan berdoa bersama-sama semoga saya, Anda, teman2 semua, dan ABG-ABG muslim sedunia selalu selamat menapaki tangga ini.)

^__^